KAMPUNG TENGAH:

Lokasi: Seputar Mesjid Jami

Menurut hasil penelusuran penulis, nama Kampung Tengah merupakan nomen klatur Budaya Tanah Melayu, khususnya Malaysia yang bekas jajahan Inggris. Setiap Kampung Utama, yang biasanya berdiri Mesjid Besar diidentifikasikan sebagai “village center” , maksudnya “pusat kampung” atau “kampung utama”, namun karena bahasa Melayu Malaysia ini sering aneh-aneh, “village center” ini bukan diterjemahkan sebagai Kampung Utama, tetapi “Kampung Tengah”. Dan kesalahan kolektif ini mengakar sepenjuru tanah Melayu. Setiap Kampung tua, yang biasanya ada Mesjid Besar, sering disebut Kampung Tengah. Hal ini terjadi baik di Malaysia, Medan, Riau, hingga di Pulau Bangka seperti Pangkal Pinang,

Mungkin demikian juga dengan Kampung Tengah Belinyu, karena pendatang di sini banyak yang datang dari tanah Melayu, jadi budaya Melayu juga berlaku. Ada Mesjid Besar di kampung ini, ya..sudah namakan saja "Kampung Tengah", walaupun secara geografis tidak berada di tengah-tengah Kota Belinyu.

Ikon yang menonjol di Kampung Tengah ini adalah Mesjid Jami. Mesjid ini merupakan tempat berkumpul komunitas para ulama, dan menjadi barometer Islam di kota Belinyu. Tidak heran kalau para ulama besar dari Sapat (Indragiri), Banjarmasin, Palembang banyak tinggal di sekitar Kampung Tengah. Ulama di kota Belinyu, yang biasanya mengajarkan agama di sebut “Mu’alim”.
Para Mualim, yang tinggal di sekitar kampung Tengah ini, mempunyai kedudukan sosial yang tinggi di mata masyarakat, hal ini disebabkan oleh kelebihan pengetahuan dibidang Agama Islam baik secara syariat, maupun muamallah, serta kemampuan Ekonomi yang lebih, karena para mualim ini juga biasanya merangkap sebagai saudagar. Makanya di Kampung ini banyak terdapat rumah-rumah kuto (rumah besar). Sayangnya sebagian rumah-rumah kayu tua itu mulai hilang tergusur rumah modern dan terlindas oleh rumah burung walet.


Bangunan di kiri kanan bukan rumah bertingkat, namun itu adalah rumah walet, yang banyak dibangun di Kota Belinyu. Jendela yang ada cuma artifisial untuk menipu lawan, seakan-akan rumah tinggal bertingkat, bukannya bangunan tembok masif. Penulis pernah membaca bahwa rumah walet ini menjadi salah satu mata rantai penyebaran penyakit demam berdarah dan malaria, karena di dalam rumah walet biasanya disiapkan genangan air, sebagai tempat berkembang jentik nyamuk untuk pakan burung walet. Namun sekaligus tempat berkembangnya nyamuk malaria (Anoplheles) dan nyamuk demam berdarah (Aedes Aegypti). Kalau analisa ini benar, mungkin kita perlu mempertimbangkan antara kemajuan ekonomi dan kemunduran kesehatan masyarakat, mengingat nyamuk tidak bisa membedakan siapa yang paling pantas digigit. Bisa jadi pemilik waletnya malah tidak tinggal di Belinyu sehingga aman dari gigitan nyamuk yang dia biarkan berbiak.


Rumah burung walet di ujung jalan. View ini diambil dari depan Mesjid Jami'


Mesjid Jami, merupakan Mesjid Besar yang paling pertama di Kota Belinyu. Sebagai sentra Islam, shalat dan upacara keagamaan sering dilakukan di Mesjid ini. Jaman dulu Shalat Jumat, Shalat Hari Raya, cuma dilakukan di sini. Mesjid ini bukan hanya tempat sembahyang umat Islam di Belinyu, tetapi juga menjadi tempat diselenggarakannya perayaan hari besar Islam.


Papan pengumuman dan Jadwal Sholat Jum'at


Bagian dalam Mesjid Jami' Kampung Tengah Belinyu



Rumah ini penulis foto 5 tahun yang lalu, mungkin saat ini sudah berganti rumah tembok. Arsitektur rumah ini adalah arsitektur rumah Palembang, berbentuk tumah panggung kayu. Mungkin juga di sini dulunya merupakan daerah pasang surut. Sebab jalan sumur laut di bagian belakang rumah ini dulu sebagai pelabuhan pendamping dari pelabuhan utama yang ada di Berok


Rumah tua arsitektur Cina pesisir, berlantai-1, dengan atap genteng kuda-kuda pelana. Teras yang lebar dengan lantai keramik terakota, serta langit-langit yang tinggi membuat rumah ini cukup sejuk. Di depan samping pintu masuk tertulis nama pemilik rumah "Herawanten"


Berhadapan dengan rumah di atas, ada sebuah bangunan yang mirip dengan rumah yang ada di film-film kung-fu Mandarin. Sebuah rumah kayu antik, arsitektur Cina, yang ada di Kampung Tengah kota Belinyu. Teras di lantai dua dengan pagar geometris, membuat bentuk rumah ini sangat oriental sekali.


Lobang angin di atas pintu utama rumah ini, merupakan lobang angin geometris khas arsitektur Cina, berbentuk labirin.



Kelenteng Fuk Tet Che, yang terletak di jalan kelenteng Kampung Tengah, merupakan Kelenteng tua yang telah berusia lebih seratus tahun. Sebagai tempat beribadah warga Tionghoa di Belinyu. Ada 4 meja persembahan (altar) dalam kelenteng ini, masing-masing untuk Dewa Bong Kwet Chung Pak Kung, Dewa Kwan Ti/Guan Gong, Dewi Kwan Im dan Budha Maitreva. Suasana film-film kungfu sangat terasa di Kelenteng ini, ada lonceng, gong dan simbal, yang sering dibunyikan pada saat ada ritual. Bau hio yang dibakar, serta interior yang dinominasi warna emas dan merah, kadang membuat anak-anak tidak berani menoleh atau takut lewat di depan kelenteng ini, saking mistisnya. "Jangan dijingok, kagek ikak te-keno", begitu foklor yang ada di masa kanak-kanak.
Bagaimanapun, Kelenteng Fuk Tet Che ini merupakan asset elemen sejarah kota Belinyu, yang telah ada sebelum kita dilahirkan.
.



2 komentar:

Rizal mengatakan...

Salam kenal Bang...
Woow... Padahal abang raso ku la cukup lamo la yoo dak pulang ke Belinyu...
Tapi BLOG abang bener - bener aseli... Belinyu bener Bang...

Unknown mengatakan...

salutttt....