LEBARAN JAMAN DULU DI BELINYU

DENYUT LEBARAN BEBERAPA PULUH TAHUN LALU DI BELINYU

Tibalah hari lebaran. Pagi-pagi sehabis sholat Subuh, sudah tidak tidur lagi, semua penghuni rumah “simbak ambur” menyiapkan diri. Si Ibu yang paling repot, harus menyiapkan kopi, menyiapkan ketupat untuk sarapan. Sang Ayah menimba air, mengisi bak di kamar mandi dan mengisi “garang aek”.

Anak-anak sudah memakai baju yang masih bau toko, karena cuma baju baru itu yang pantas untuk digunakan ke mesjid. Yang masih sempat, dapat sarapan dengan ketupat, yang tidak sempat minum seteguk kopi. Sekitar jam 6 pagi semua berjalan kaki berduyun-duyun melaksanakan sholat Idul Fitri. Ada dua tempat yang pavorit shalat Ied, yaitu Mesjid Al-Inayah dan Mesjid Kampung Tengah. Sebelum berdiri mesjid Al –Inayah, beberapa tahun TTB mengadakan shalat Ied di lapanngan, yaitu lapangan Basket, lapangan Tennis Krida Stania.

Selesai sholat Ied yang khusuk, pulang kerumah, untuk sarapan. Saat itu juga kadang digunakan menghantar ketupat kepada saudara-saudara non muslim, yang tidak merayakan lebaran. Dimulailah silaturrahmi kaum muda kepada yang lebih tua, sekampung panjang. Ada yang jalan kaki, ada yang “ngriot” naik “kereto angin” panas “pijer” bukanlah halangan.

Lebaran sepertinya milik anak-anak semata. Dengan baju, sepatu baru rumah siapa saja dimasuki, bukan hanya segelas minum “city” (sirup bersoda buatan pangkalpinang) di gelas kembang-kembang, juga sekedar mendapatkan 50 atau 100 rupiah. Kue pun bukan sasaran, karena kue-kue pada saat itu buatan sendiri, yang hanya meninggalkan sisa di celah gigi. Memang di “gelek” terdapat bermacam-macam bentuk kue, namun percayalah bahwa rasa dan adonan tepungnya hampir sama. Yang namanya adonan “kue sempret’ itu, bisa menjadi berbagai bentuk, dengan hanya mengganti mulut pada cetakan. Rasanya sama, paling dimanipulasi dengan sedikit bubuk coklat. Ada kacang bawang, keletek, kempelang tapi…aah sama saja dengan dirumah.

Bagi anak-anak, setelah cukup dapat uang, sasaran selanjutnya adalah membeli mainan. Pokoknya Hari Raya adalah pembalasan terhadap kemiskinan. Mainan-mainan berupa pistol-pistolan, cuma bisa dibeli pada saat lebaran. Baik pistolan air, pistolan dengan umpan pita merah yang berisi bubuk belerang atau pistolan yang pelurunya dapat melengket di kaca, atau juga “percon’ (petasan).

Jadilah hari lebaran pertama itu menjadi puncak kebahagiaan melalui pistol mainan. Sedang kaum remajanya menghabiskan uang angpau dengan bermain “kolok-kolok”. Hari itulah uang yang beredar dikalangan anak-anak mencapai puncaknya, selain itu tidak ada uang, yang namanya mendapat uang jajan itu sangat jarang bagi anak-anak yang di besarkan di Belinyu.

Malampun menjelang, rasa lelah dan keringat membasahi baju baru pertama, baju baru ke dua akan di pakai hari ke-2. Di pagi hari kedua acara rutin adalah “ke kubur”, terutama ke pemakaman “kelekak taru” di Kampung Sekip. Jaman dulu belum banyak motor, berduyun-duyun jalan kaki ke kubur adalah biasa. Disana bisa ketemu sanak saudara juga, sambil bermaaf maafan, sekalian membaca seuntai doa kepada leluhur yang telah duluan berpulang.

Pulang dari kubur masih disempatkan untuk ber-silaturahmi kerumah kerabat, siang pun mulai meredup senja, seiring dengan redupnya lebaran dan mulai habisnya kue sempret, kue bolu, keletek dan kempelang. Kulit ketupat teronggok sebagai sampah di belang buri. Ayam yang masih diberi makan dua tiga hari lalu tinggal tulang belulang berbau aroma opor dan sisa sambel asem, dan sayur santan kacang bengkuang. Denyut hiduppun kembali seperti biasa lagi, keterbatasan kota Belinyu dan kesederhanaan warga masyarakat menjelma seperti biasa, dan sangat biasa sekali, bukan hanya sebagai warga kota Belinyu, tetapi sebagai keluarga besar orang yang tinggal di Belinyu.


Kue Lapis Legit dan kue Mak Suba, adalah kue basah yang cukup populer di Belinyu. Kue ini muuaaniisss sekali, bahannya telur dan gula dalam jumlah banyak.


Kempelang goreng adalah panganan yang biasa disuguhkan pada saat lebaran. Ditempatkan di toples (gelek) yang besar. Awas jangan lupa ditutup rapat karena akan "kelot" (melempem).


Siput Gungung goreng merupakan panganan yang spesial yang kadang ada di meja lebaran.
Selain harganya mahal, Siput Gungung juga mulai susah didapatkan di perairan Belinyu.


Kue Tapel, merupakan kue jaman doeloe, saat ini sudah agak jarang ditemukan dan disuguhkan dimeja lebaran, karena dibuat secara "hand made", satu persatu, dan dilipat selagi panas dari cetakan.



Kue Bolu, adalah kue tipikal lebaran, di seluruh Belinyu bentuknya cuma dua macam, berbentuk kembang lima lekuk atau berbentuk lonjong belimbing. Karena cetakan kuningannya memang cuma dua macam itu. Kue ini bila dibiarkan agak lama, baru terasa enak gulanya mulai mengeras dan terasa manis. Tapi jangan lupa menutup gelek, sebab paling digemari semut.



Kue "semptret" kue yang bentuknya bermacam-macam, namun rasanya seragam. Karena rasanya sangat sederhana sekali, kue ini kurang disukai tamu, sehingga kue inilah yang paling lama habis setelah lebaran.



Pemakaman Islam "Kelekaktaru" di Kampung Sekip, biasanya ramai dikunjungi warga Belinyu pada hari kedua Lebaran. Tidak seperti dulu, jaman sekarang sudah jarang orang membawa sapu atau parang untuk membersihkan kubur, karena sekarang sudah ada petugas kebersihan. Biayanya dari iuran yang ditarik ke rumah-rumah.


Permainan "kolok-kolok", adalah judi taruhan dengan dadu yang semua sisinya bergambar. Judi jenis ini sudah merakyat dan akan muncul dengan sendirinya bila ada keramaian atau pada saat-saat Hari Lebaran, Khongian atau Tahun Baru. Polisi agak setengah hati melarangnya, karena judi Kolok-kolok ini sudah merupakan budaya di Bangka. Selain dilakukan sesaat saja, taruhannyapun kecil-kecil. Dalam Kolok-kolok, jarang kita dengar pemasangnya menang, namun bandar dapat dipastikan menang, karena probabilitas munculnya gambar dan kelipatan uang yang dibayarkan bandar tidak seimbang.


MALAM LEBARAN DI BELINYU "TEMPOE DOELOE"

MALAM LEBARAN DI BELINYU “TEMPO DOELOE” (Rev-1)

Lebaran sudah menjelang, di Belinyu pun denyut itu berdetak keras. Sejak dulu Lebaran adalah baju baru bagi anak-anak, duit ariayo, barang blog dari TTB bagi orang tua, dan masak ketupat, sayur kacang bengkuang bagi ibu-ibu.

Lebaran di Belinyu sudah dimulai sejak 2-3 hari sebelumnya. Tidak seperti sekarang bahwa sarung ketupat banyak di jual di pasar. Dulu ketupat harus dianyam dan dibuat sendiri. Masing-masing berusaha sendiri untuk mendapatkan daun kelapa muda. Ada yang menebang sendiri di kelekak, ada yang minta tolong tetangga, kerabat untuk mendapatkan satu pelepah daun. Dulu sangat tidak umum membeli daun ketupat itu di pasar.

Bagi anak-anak, mulailah tibanya hari kegembiraan, semua hal adalah mengasyikkan. Ketika ada yang menebang kelapa, anak-anak berebut umbut muda kelapa, yang manis. Sisa-sisa daun bisa menjadi bahan hiburan di tengah keterbatasan mainan untuk anak-anak.

Daun kelapa tua bisa dianyam menjadi atap untuk main pondok-pondok, bisa dianyam menjadi tas, topi. Bahkan sekedar menjadi terompet , udang-udangan atau keris berlekuk. Lidinya kadang dikumpulkan untuk sapu pangkeng (tempat tidur).

Pengorbanan pohon kelapa ini memberikan manfaat dan hiburan yang dipaksakan bagi anak-anak, akibat semua keterbatasan kota Belinyu. Sisi lain ada kreativitas yang lahir dari situ. Bahkan sisa tebangan pohon kelapa yang membusukpun masih bisa menghibur anak-anak untuk mencari “pianggung”.

Para bapak-bapak tidak ketinggalan sibuk, mulai mencari kayu untuk "masak ketupat", kalau punya kelekak mulai mencari-cari "pang" (Bly: Dahan) yang kering, atau ke hutan bergotong royong mencari kayu. Yang bekerja di parit/tambang, pulang bekerja bisa membawa beberapa "kebet" (Bly: Ikat) kayu di "peranca" (Bly: Boncengan) kereto angin. Yang berduit bisa membeli kayu abi beberapa "kebet" . Bisa kayu samak, mentangor, bisa juga kayu KW.1 seperti "kayu bakoo" atau "kayu pelawan". Dulu memang kayu masih gampang didapat.

Hari-hari itu juga dimulainya kegiatan lain seperti menggunting rambut di depan kantor camat lama milik Mang Yusman, atau di pasar, bahkan Wak Honda pun kebanjiran order. Lebaran harus kelihatan klimis sesuai gendernya. Yang laki-laki, potongan rambut seperti tentara saja modelnya, karena pada saat itu belum ada model rambut seperti Group Band “Cangcutter”. Kalau pun berani model rambut seperti itu, basah dan diawut-awutkan, siap-siaplah diolok sebagai rambut “derasak”. Yang perempuan, cukup potongan biasa di salon-salon tradisional.

Urusan pakaian, yang remaja dan kaum muda bisa membeli kaos mutu memadai atau celana jeans produksi Bandung di Toko Pat Ciang baik di pasar atau di simpang Belia. Untuk anak-anak yang masih gemar main “pistol aek” alias anak-anak kecil, cukup menjahit saja. Bisa di penjahit Akhien, atau penjahit Akiong juga dekat Belia. Kalau kakak beradik, maka akan seragam semua baju lebarannya. Dan jangan heran kalau kain baju yang dijahit sama dengan kain gorden pintu/jendela di rumah, karena cuma itu kain yang ada dan mampu digunakan, itupun didapat dari jatah pembagian TTB.

Makanya film “Laskar Pelangi” kurang menggigit di Bangka, khususnya Belinyu, karena apa yang diceritakan bukanlah hal istimewa. Semua itu adalah kehidupan nyata tidak hanya di desa Gantong Belitung, tapi juga di Belinyu dan kota-kota kecil lainnya. Dan hal itu memang dulunya dialami secara kenyataan oleh warga kita semua.

Satu hari sebelum lebaran adalah hari yang tersibuk untuk urusan dapur. Isue daging sulit didapat sudah merebak kemana-mana. Sebagian warga berduit, membeli sapi hidup dari juragan sapi Aek Asem Mang “Mas Tali”. Sapi itu dipotong dipekarangan rumah, dengan kerumunan warga kampung. Dagingnya diberikan kepada para pemesan. Lebaran disambut dengan suasana meriah dan semangat kekeluargaan. Denyut puasa yang masih tersisa di Mesjid yang mestinya merupakan ritual wajib, sudah hilang pamor oleh gempita lebaran, yang merupakan entitas sosial budaya.

Jadilah malam lebaran Belinyu dipenuhi aroma ketupat, daging dan opor ayam. Selesai berbuka terakhir (bagi yang puasa), malam itu adalah hari pembalasan perut dengan sebagian ketupat yang sudah masak.

Suara takbiran berlomba kuat dengan semangat membagikan hantaran kepada kemanak-kemanak, handai tolan, tanpa melihat agama suku dan ras. Saudara-saudara Tionghoa, Kristen, lumrah menikmati ketupat, sambel asem, opor dan sayur kacang bengkuang dari hantaran kerabat/saudara atau tetangga yang muslim. Pokoknya Lebaran di Belinyu bukan hanya untuk kaum muslim, namun seluruh warga Belinyu merasakannya. Suatu contoh yang baik untuk hidup berdampingan secara damai dan penuh kekeluargaan, bagi suatu bangsa.



Daun kelapa untuk membuat ketupat, biasa dibagikan kepada tetangga atau kerabat yang tidak memilkiki pohonb kelapa (foto dari "fotodetik.com")




Sarang ketupat dari daun kelapa, dulu harus dibuat sendiri karena jarang sekali dijual di pasar. Proses membuat sendiri ini menimbulkan interaksi sosial dan rasa kekeluargaan di kalangan warga Belinyu dulunya, yaitu sejak ngenaik kelapo, motong daun dan menganyamnya. Dulu belum musim yang namanya kompor, jadi ketupat ini dimasak satu dandang penuh dengan kayu bakar, di pekarangan rumah dari pagi sampai sore. (foto dari "fotodetik.com")



Sambel asem Belinyu, berupa sambal udang kering dan udang bacah, dengan rasa asem manis



Masakan khas Belinyu ini namanya pentul, berupa potongan kecil daging sapi dicampur nenas yang dimasak berbumbu semacam curry. Masakan ini berasal dari Asia Timur


Ketupat yang baru diangkat dari perebusan selama berjam-jam

SELAMAT HARI RAYA


KAMI MENGUCAPKAN:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1430.h
MOHON MAAF LAHIR DAN BATHIN


MALAM LIKUR-LIKUR

Likur-likur” berasal dari kata “selikur” (bhs.Jawa) yang berarti “dua puluh satu”, Malam likur-likur berarti malam puasa yang ke 21 dari 30 hari Puasa Ramadhan. Malam ke 21 adalah malam awal paruh ke-3 Bulan Ramadhan, atau 10 hari terakhir yang merupakan mulainya malam penuh pengampunan. Diyakini juga malam itu adalah malam “laylatulqadr” (Belinyu: lailatukodar) malam yang lebih indah dari seribu bulan, saatnya turun malaekat.

Malam khusus itu di Belinyu dirayakan dengan, arak-arak membawa alat penerangan. Bisa “tenglong” (tanglong) yang berupa lampion kertas berisi lilin, bisa juga kaleng susu yang dipasang tangkai sapu dan dimasukkan lilin merah di dalamnya, menjadi semacam senter. Itulah yang di arak anak-anak kecil sekampung panjang, sambil meneriakkan “likurrrr…likurrrr”.

Entah apa maknanya. Dan entah apa hubungan antara lampu dengan malam puasa ke 21. Mungkin saja jaman dulu malam itu digunakan untuk iqtikaf di mesjid hingga jauh malam. Dan karena belum ada senter, maka disiapkanlah berbagai alat penerang. Melegendalah hal itu menjadi malam likur-likur.

Budaya ini bukan cuma di Belinyu. Di Kalimatan Selatan, khususnya kota Banjar Baru, budaya likur-likur ini masih tetap ada hingga sekarang, bahkan menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata. Arak-arakannya tidak cumja tanglong, bahkan miniatur mesjid, kaligrafi, festival meriam bambu (dumdum) di tepi S.Kapuas dan kegiatan islami lainnya.

Sayang sekali budaya likur-likur ini redup begitu saja, sehingga sudah bukan menjadi tradisi di Belinyu. Entah siapa yang kita tuntut untuk mempertahankan budaya-budaya yang ada di kota Belinyu. Bila semua orang merasa malu dengan budaya sendiri, dan tidak melestarikannya, maka itu menjadi jalan untuk hilangnya suatu peradaban.


Gambar "Tanglong" atau tenglong yang biasa digunnakan pada malam "likur-likur". Berupa lampu atau lilin yang dibungkus kertas minyak warna warni dengan rangka bambu.
(foto dikutip dari "fotobucket.com/hasbi)