MALAM LEBARAN DI BELINYU "TEMPOE DOELOE"

MALAM LEBARAN DI BELINYU “TEMPO DOELOE” (Rev-1)

Lebaran sudah menjelang, di Belinyu pun denyut itu berdetak keras. Sejak dulu Lebaran adalah baju baru bagi anak-anak, duit ariayo, barang blog dari TTB bagi orang tua, dan masak ketupat, sayur kacang bengkuang bagi ibu-ibu.

Lebaran di Belinyu sudah dimulai sejak 2-3 hari sebelumnya. Tidak seperti sekarang bahwa sarung ketupat banyak di jual di pasar. Dulu ketupat harus dianyam dan dibuat sendiri. Masing-masing berusaha sendiri untuk mendapatkan daun kelapa muda. Ada yang menebang sendiri di kelekak, ada yang minta tolong tetangga, kerabat untuk mendapatkan satu pelepah daun. Dulu sangat tidak umum membeli daun ketupat itu di pasar.

Bagi anak-anak, mulailah tibanya hari kegembiraan, semua hal adalah mengasyikkan. Ketika ada yang menebang kelapa, anak-anak berebut umbut muda kelapa, yang manis. Sisa-sisa daun bisa menjadi bahan hiburan di tengah keterbatasan mainan untuk anak-anak.

Daun kelapa tua bisa dianyam menjadi atap untuk main pondok-pondok, bisa dianyam menjadi tas, topi. Bahkan sekedar menjadi terompet , udang-udangan atau keris berlekuk. Lidinya kadang dikumpulkan untuk sapu pangkeng (tempat tidur).

Pengorbanan pohon kelapa ini memberikan manfaat dan hiburan yang dipaksakan bagi anak-anak, akibat semua keterbatasan kota Belinyu. Sisi lain ada kreativitas yang lahir dari situ. Bahkan sisa tebangan pohon kelapa yang membusukpun masih bisa menghibur anak-anak untuk mencari “pianggung”.

Para bapak-bapak tidak ketinggalan sibuk, mulai mencari kayu untuk "masak ketupat", kalau punya kelekak mulai mencari-cari "pang" (Bly: Dahan) yang kering, atau ke hutan bergotong royong mencari kayu. Yang bekerja di parit/tambang, pulang bekerja bisa membawa beberapa "kebet" (Bly: Ikat) kayu di "peranca" (Bly: Boncengan) kereto angin. Yang berduit bisa membeli kayu abi beberapa "kebet" . Bisa kayu samak, mentangor, bisa juga kayu KW.1 seperti "kayu bakoo" atau "kayu pelawan". Dulu memang kayu masih gampang didapat.

Hari-hari itu juga dimulainya kegiatan lain seperti menggunting rambut di depan kantor camat lama milik Mang Yusman, atau di pasar, bahkan Wak Honda pun kebanjiran order. Lebaran harus kelihatan klimis sesuai gendernya. Yang laki-laki, potongan rambut seperti tentara saja modelnya, karena pada saat itu belum ada model rambut seperti Group Band “Cangcutter”. Kalau pun berani model rambut seperti itu, basah dan diawut-awutkan, siap-siaplah diolok sebagai rambut “derasak”. Yang perempuan, cukup potongan biasa di salon-salon tradisional.

Urusan pakaian, yang remaja dan kaum muda bisa membeli kaos mutu memadai atau celana jeans produksi Bandung di Toko Pat Ciang baik di pasar atau di simpang Belia. Untuk anak-anak yang masih gemar main “pistol aek” alias anak-anak kecil, cukup menjahit saja. Bisa di penjahit Akhien, atau penjahit Akiong juga dekat Belia. Kalau kakak beradik, maka akan seragam semua baju lebarannya. Dan jangan heran kalau kain baju yang dijahit sama dengan kain gorden pintu/jendela di rumah, karena cuma itu kain yang ada dan mampu digunakan, itupun didapat dari jatah pembagian TTB.

Makanya film “Laskar Pelangi” kurang menggigit di Bangka, khususnya Belinyu, karena apa yang diceritakan bukanlah hal istimewa. Semua itu adalah kehidupan nyata tidak hanya di desa Gantong Belitung, tapi juga di Belinyu dan kota-kota kecil lainnya. Dan hal itu memang dulunya dialami secara kenyataan oleh warga kita semua.

Satu hari sebelum lebaran adalah hari yang tersibuk untuk urusan dapur. Isue daging sulit didapat sudah merebak kemana-mana. Sebagian warga berduit, membeli sapi hidup dari juragan sapi Aek Asem Mang “Mas Tali”. Sapi itu dipotong dipekarangan rumah, dengan kerumunan warga kampung. Dagingnya diberikan kepada para pemesan. Lebaran disambut dengan suasana meriah dan semangat kekeluargaan. Denyut puasa yang masih tersisa di Mesjid yang mestinya merupakan ritual wajib, sudah hilang pamor oleh gempita lebaran, yang merupakan entitas sosial budaya.

Jadilah malam lebaran Belinyu dipenuhi aroma ketupat, daging dan opor ayam. Selesai berbuka terakhir (bagi yang puasa), malam itu adalah hari pembalasan perut dengan sebagian ketupat yang sudah masak.

Suara takbiran berlomba kuat dengan semangat membagikan hantaran kepada kemanak-kemanak, handai tolan, tanpa melihat agama suku dan ras. Saudara-saudara Tionghoa, Kristen, lumrah menikmati ketupat, sambel asem, opor dan sayur kacang bengkuang dari hantaran kerabat/saudara atau tetangga yang muslim. Pokoknya Lebaran di Belinyu bukan hanya untuk kaum muslim, namun seluruh warga Belinyu merasakannya. Suatu contoh yang baik untuk hidup berdampingan secara damai dan penuh kekeluargaan, bagi suatu bangsa.



Daun kelapa untuk membuat ketupat, biasa dibagikan kepada tetangga atau kerabat yang tidak memilkiki pohonb kelapa (foto dari "fotodetik.com")




Sarang ketupat dari daun kelapa, dulu harus dibuat sendiri karena jarang sekali dijual di pasar. Proses membuat sendiri ini menimbulkan interaksi sosial dan rasa kekeluargaan di kalangan warga Belinyu dulunya, yaitu sejak ngenaik kelapo, motong daun dan menganyamnya. Dulu belum musim yang namanya kompor, jadi ketupat ini dimasak satu dandang penuh dengan kayu bakar, di pekarangan rumah dari pagi sampai sore. (foto dari "fotodetik.com")



Sambel asem Belinyu, berupa sambal udang kering dan udang bacah, dengan rasa asem manis



Masakan khas Belinyu ini namanya pentul, berupa potongan kecil daging sapi dicampur nenas yang dimasak berbumbu semacam curry. Masakan ini berasal dari Asia Timur


Ketupat yang baru diangkat dari perebusan selama berjam-jam