Jl. Depati Amir :

Lokasi: Dari depan Rumah Sakit TTB, sampai Simpang Tiga Tangsi.


Nama jalan ini diambil dari nama seorang Patih, bergelar Depati, dari Kesultanan Palembang.

Kawasan ini merupakan kawasan yang paling elit ldi komplek TTB di Kota Belinyu sejak dulu, termasuk juga Jl.Curam, Jl. Balar, disebut warga Tionghoa “Holland Kai” (Kampung Belanda), warga Belinyu lain menyebut warga yang tinggal di sini “wong pucuk” (orang atas). Berpredikat “pucuk’ juga, karena memang secara geografis dari bawah, harus menempu bukit Kantor pos.


Perumahan di sini, dulunya dihuni sekelas Kawilasi, dan para Kepala Biro serta pejabat-pejabat TTB. Namun sekarang sudah tidak berlaku lagi, karena strata organisasi TTB, sudah tidak seperti dulu. Jalannya paling lebar, paling mulus dan tidak pernah berlobang.

Jaman jaya-jayanya PT.Timah, th.70-an, perumahan disini terawat rapi, dengan ukuran lebar kapling 50 m dan panjang ke belakang 100 m, kawasan ini kelihatan seperti “hasienda”. Apalagi kalau malam hari, dominasi cat warna putih dengan bilah-bilah lampu TL neon yang terang benderang, pantaslah kawasan ini menjadi yang paling elit di Belinyu. Namun sekarang, rumah-rumah tersebut kelihatan kusam, tak terurus, yang mencerminkan kondisi Bellinyu saat ini.


Jl. Depati Amir di lihat dari depan Rumah Sakit. Perumahan disini sudah kehilangan roh sebagai Komplek Perumahan, yang tinggal cuma sisa-sisa rumah tua.


Rumah ini pas di "segok" (sudut) depanh ruma sakit. Beberapakali didiami pejabat dengan jabatan Kepala Biro Permesinan. Yang agak lama menempati rumah ini, Bpk. Philips E Kapoh, Bpk. Siahaan.


Warga Belinyu menyebut gedung ini dengan nama "Up-Grading" (Peningkatan), karena sejak jaman Belanda, memang di sini dulu tempat pelatihan serta peningkatan kemampuan bagi Karyawan Timah, yang dipromosikan kenaikan pangkat. Selain sebagai tempat menambah pemahaman tentang tugas pekerjaan.

Masa perang Dunia, Gedung ini menjadi markas Belanda, selain Gedung Pesanggrahan. Jaman kedudukan Jepang, dijadikan markas tentara Jepang. Setelah itu giliran Indonesia, menggunakan Gedung ini sebagai markas "Sukwan" (Suka Relawan), yaitu Pasukan Cadangan yang terdiri dari Karyawan TTB yang dipersenjatakan dan dilatih ilmu militer di pantai Sampur Pangkalpinang. Kegiatan ini dalam rangka Konfrontasi dengan Malaysia. Saat itu Bung Karno menyerukan "Ganyang Malaysia", sehingga setiap karyawan Timah dikenakan Wajib Militer. Di pintu masuk Up-Grading ini terdapat pos jaga (orang Belinyu menyebutnya Rumah Monyet), dengan seorang "sukwan" berpakaian tentara berjaga-jaga di dalam rumah monyet itu.

Era tahun 70-an gedung bagian belakang tetap digunakan untuk pelatihan. Dibagian depan digunakan Taman Kanak-Kanak (TK.Panti Rini) sekelas TK.A, sebelum masuk ke TK.B di SD.St.Agnes. Penyelenggaranya adalah TTB. Gurunya cuma dua saja, Ibu Umi dan ibu Ratna. Cukup lengkap mainan dan peraga di dalam kelas. Di halaman terdapat dua ayunan dengan tali berupa rantai besi yang digantung pada pipa besi bekas dari tambang timah. Ayunan ini selalu di gembok, karena takut digunakan anak-anak yang bukan siswa TK. Panti Rini. Bisa sih mau menggunakan namun harus minta izin dibukakan oleh "Wak" penjaganya. Di halaman TK ini, yang bersebelahan dengan rumah Menteri Suroto, terdapat pohon "seri" dan sebatang pohon pepaya di sebelah rumah Dokter.

Tahun 75-an sebelum Mesjid Al-Inayah dibangun, di sinilah tempat Karyawan TTB jaman Kawilasi Pak Harsono, melakukan shalat Taraweh, di ruangan tengah. Cukup banyak nostalgia gedung ini.



Dokter yang bertugas di RS.Timah Belinyu selalu tinggal di rumah dinas ini. Seingat kita dr. Amiruddin, dr.Zul, dr.Aswin, dr.Muchtar, terakhir dr.Andi, pernah tinggal di sini. Dokter Rumah sakit, atasan langsungnya adalah Kepala Dinas Kesehatan di Pangkalpinang, namun koordinasi di bawah Kawilasi. Dulu halaman depannya cukup asri, teduh dilindungi pohon flamboyan, serta nanasan yang daunnya keras dengan ujung berduri. Pagar besi di depan, ditumbuhi perdu beluntas yang selalu dipangkas serta terawat rapi. Beberapa pohon kamboja dan halaman rumput hijau. Batu-batu kerikil juga dihampar di sekeliling. Di belakang banyak pohon kelapa yang masih ada hingga kini, serta satu dua pohon mangga, dekat lapangan bulu tangkis.


Rumah di atas, posisi tusuk sate dengan Jl.Curam, adalah Rumah Dinas untuk Jabatan Kasatsi (Kepala Satuan Produksi), kalau tidak salah rumah ini untuk Jabatan Kasatsi Utara. Pernah ditempati Pak.Tobing, Pak.Mustafa, Pak Hebat, dan seterusnya.
Di depan dekat pintu masuk dulu terdapat pohon jambu air yang cukup tua. Buahnya manisss ...dan celing, walaupun pohonnya banyak "kerengge". Pohon ubi karet di sepanjang tembok. Sedang di sebelah kanan terdapat pohon palem pakis yang besar. Ada juga sumur tua di depan.


Dibelakang banyak pohon kelapa, ada taman rumput dan "green" untuk Pak Tobing latihan "putting". Dapurnya dan teras belakang cukup tinggi, sehingga perlu melewati beberapa undak tangga.



Foto ini adalah bekas Rumah Dinas untuk Pejabat Apoteker Rumah Sakit, sedang di latar belakang (yang ada pohon kelapa), adalah Rumah Kepala Biro Explorasi dan Pemetaan. Di depannya terdapat pohon belimbing wuluh yang masem dan pohon kelapa. Disamping, dekat sumur tua, bebrapa pohon "katu" (cangkok manis" dan sebatang pohon turi serta pohon pepaya.


Ini Rumah Dinas Kasatsi Selatan. Rumah ini lama ditempati Bpk. Panjaitan, selanjutnya ditempati Bpk.Soeratmo. Dulu ada bunga Bougenvile dan beberapa tanaman Anggrek Macan.
Di seberang depan rumah ini terdapat Jalan yang tembus ke Gudang Beras., disamping lembah rumpun bambu Rumah ini bersebelahan dengan lorong yang tembus ke Kampung Jawa. Didepan adalah Mess Timah.II dan disamping kanan adalah Mess Timah-I, sebelum Pasanggrahan.


Bangunan ini dulunya adalah Mess Timah-I. terletak di samping Pasanggrahan. Dulu disamping kiri, dekat teras, ada 3 pohon Pinus (Pohon Ru, karena kalau ada angin kencang berbunyi: ruuuu.....).


Warga Belinyu mana yang tidak ingat dengan Pasanggrahan, terletak di tengah pertigaan Jl. Depati Amir di depan Krida. Dulu temboknya tidak dipagar besi, tetapi berupa tembok rendah dengan permukaan berbatu hitam halus. Di sinilah tempat duduk-duduk anak-anak Belinyu, di bawah Lampu Kuning di pertigaan. Walau yang duduk-duduk di sini kebanyakan dari Kampung Jawa, namun banyak juga warga lainnya yang sekedar duduk santai atau, menunggu teman sehabis nonton "pelem pre" untuk pulang ke bukit Ketok atau Saber.


Pasanggrahan atau Pesanggrahan, berasal dari kata "persinggah graha" yang artinya rumah singgah, berhenti sesaat atau istirahat. Pasanggrahan milik PT.Timah di Belinyu ini sejak jaman Belanda, memang untuk persinggahan atau penginapan bagi karyawan TTB yang di detasering, atau mengikuti kursus, atau tugas di Wilasi belinyu. Biasanya akan penuh sesak kalau ada pemindahan Kapal Keruk ke Belinyu. Bisa juga untuk penginapan sementara bagi karyawan yang dimutasi. Untuk yang pejabat di Mess Timah-II atau Mess Timah-II.

Pada jaman Kemerdekaan th.45-an, Gedung ini sempat dijadikan markas TKR Belinyu, sebelum mennyerbu ke Petaling, rembukan di sini dulu. Sebagai markas TKR, penjagaan dilakukan di pintu masuk, berdirilah pemuda Belinyu dengan tegap sambil membawa senjata, yaitu....bambu runcing, atau tombak besi.


Ini adalah Rumah Dinas Kawilasi Belinyu. Kawilasi adalah "Kepala Wilayah Produksi". Orang Timah nomor.1 di Belinyu. Rumah ini pas terletak di depan Lapangan Tennis. Awalnya bangunan di sini adalah Bangunan yang mirip di depan rumah Dokter, yaitu sebagai Mess untuk pelatihan karyawan. Tahun 60-an di roboh, dijadikan rumah Kawilasi. Rumah ini cukup besar dan halaman luas. Ada dua tower antena Yagi 3 elemen, serta pengarah komunikasi radio di sampingnya. dilengkapi lapangan bulu tangkis segala. Dulu rumah inilah yang paling besar, dan paling megah di Belinyu. Namun ....sekaranggg....hiks...hiks...kemegahan kota Belinyu tinggal kenangan dan cerita saja untuk generasi sekarang. Jl Depati Amir yang dulunya mulus, megah dan terang benderang, sekarang menjadi gelap gulita, kumuh tanpa menyisakan sedikitpun kemegahan.



JALAN MELATI :

JALAN MELATI :

Lokasi: Dari Simpang Toko Anam/Toko Apung sampai ke Simpang Ajat


Sejak dari dulu Jalan melati adalah kawasan pecinan alias tempat mukim warga Tionghoa dan terdapat Tao Pek Kong. Jalan melati ini dulu melintangi jalan trem. Belakangan di sisi jalan trem didirikan gedung SMP Negeri, dan dibangun Lapangan Stadion (lebih tepatnya lapangan bola kelas kampung) bersamaan dengan dibangunnya Mesjid Al-Inayah, tahun 70an.

Di lapangan Stadion ini pula, tahun 70-an pernah kedatangan rombongan ‘Oriental Sirkus” atas kerjasama dengan TTB pada. Cukup heboh juga tentunya pada saat itu, pertama kali bagi warga Belinyu kedatangan Gajah, Singa dan Macan Loreng. Beberapa Minggu seluruh warga Belinyu berbondong-bondong melihat pertunjukan sirkus itu. Apalagi atraksi manusia bergelantungan dan meniti kawat baja. Itulah satu kali seumur hidup rombongan sirkus datang ke Belinyu.


Jalan Melati ini, dulunya biasa disebut “Hoi Nam Kai”, atau “Kampung Hoinam”, karena banyak bermukim warga Tionghoa yang berasal dari Hoinam, Tiongkok. Hoi Nam ini bukan berada di daratan Cina, namun berada di Propinsi Hainan yang ada P.Hainan (selatan Cina Daratan). Namun sejauh yang kita tahu imigran yang didatangkan Belanda ke tanah Melayu, biasanya dari Daratan Cina pesisir, seperti Hakka, Kowlon, Kanton, Swatow. Mungkin karena mereka ini bukan dari Cina daratan, maka mereka mengumpul sendiri di Jalan Melati ini, sehingga pada saat itu disebut “Hoi nam Kai”. Saat ini, mungkin generasi muda tidak banyak yang tahu tentang nama ini, yang terkenal ya Jl.Melati atau juga kadang dipelesetkan menjadi “Kaimui”.



Trade mark Jl. Melati, adalah di simpang empat Toko Ajiu. Ke kiri Pahlawan-12, terus Jl.Trem, ke kanan Jl.Melati yang ke SMP Negeri.




Tao Pek Kong di Jl.Melati, depan Toko Ajiu yang legendaris. Dulu disampingnya ada toko kelontong, tutup sekitar th.70-an



Nama jalan menggunakan bunga, memang sangat tidak umum di Belinyu. Namun kita tahu memang banyak rumah-rumah di Jl.Melati yang menanam bunga di pekarangannya, namun kebanyakan mawar, bukan melati. Lagi-lagi aneh ya.


Masyarakat di Jl.Melati ini, bermata pencarian terutama berdagang, secara turun temurun. Yang namanya Toko Anam, Toko Apung, Toko Ajiu, semua melegenda di Jl.Melati. Juga sebagian membuat kempelang, atau jualan keliling. Mereka sangat setia dan tekun sekali dengan profesi masing-masing, inilah salah satu budaya orang Belinyu, yang patut dipertahankan, yaitu tekun dan tabah.


Salah satu sentra lain lokasi Jl.Melati. Sebelah kanan, yang ada motor parkir adalah Toko Apung berhadapan dengan Toko Anam (th.30. Toko Anam ini adalah sebuah Hotel). Toko yang sudah dijalankan tiga generasi.hingga kini . Dulunya Pak Apung ini selain membuka toko, juga sebagai Tukang Gunting. Konsumen kedua toko ini dari sekitar hingga Kmp.tengah, Sungai Ketok, Kmp.Gudang.Walaupun berhadapan, kedua toko ini tetap bersaing secara sehat dan tidak saling menjatuhkan, contoh hidup yang pantas ditiru. Rezeki memang misteri di tangan Tuhan.



Satu lagi yang menjadi nostalgia di Jl.Melati ini, yaitu banyak terdapat anjing peliharaan. Jadi kalau malam naik sepeda, apalagi di malam hari, lampu jalan banyak yang mati, siap-siaplah untuk angkat kaki kalau tidak mau digigit Scoobydoo. Minimal dikejar dan digonggong sekelompok anjing pun sudah membuat kita panik. Apalagi dulu perkerasan aspalnya tidak semulus sekarang, Cuma berupa batu kacang yang dilaburi aspal, itu pun sudah terlepas di sana sini.


Th.30 an di Jl.Melati ini terdapat beberapa hotel besar, salah satu lokasinya yang sekarang di tempati Toko Anam. Satu lagi bernama Hotel “Tungtek”, (th.80an dirobohkan), yang berada pas di tanjakan dekat Jembatan. Pokoknya pada saat itu, sebagai kota Keresidenan (semacam Kabupaten), Belinyu tentu banyak dikunjungi pendatang dengan berbagai kepentingan. Sehingga banyak terdapat beberapa Hotel besar. Selain itu, di Belinyu masih banyak terdapat “Parit”, (Tambang Timah). Pekerjaan di Parit ini semuanya serba manual, jadi banyak sekali tenaga kerja-nya, terutama pekerja-pekerja Kontrak dari Cina sejak abad 18an. Dan Kota Belinyu merupakan kota transit mereka dari parit-parit yang ada di Utara seperti Bubus, Pesaren, Simpang Tigo, dan lain-lain. Kondisi inilahyang membuat Kota Belinyu dulunya ramai, dan salah satu kawasan itu di Jl.Melati ini.



Bangunan tinggi (warna Cream) di sebelah kiri, yang berlokasi di tanjakan, Jl. Melati dulunya bekas Hotel Tungtek, di depannya terdapat sebuah lapangan Basket, milik "Klub Bola Basket Bayangan"(th.70an). Jalan Melati khususnya bagian atas, dulu cukup ramai, terdapat beberapa hotel, karena merupakan bagian dari "Simpang Limo" yaitu kawasan bisnis Depan Bioskop Belia dan sekitarnya.



Kini Jl. Melati sudah beraspal mulus, tidak banyak Anjing lagi, rumah-rumah Kayu kuno, berarsitektur Cina sudah banyak yang dirobohkan, berganti rumah modern. Bahkan Kelenteng di dekat Toko Ajiu-pun sudah kelihatan lebih keren. Sebagian warga Jl.Melati ini banyak yang merantau, pada saat Kongian dan Cengbeng, mulai terlihat ramai kembali, setengat satu dua minggu, untuk selanjutnya sepi kembali, seperti sepinya setiap sudut Kota Belinyu di jaman otonomi daerah ini.

RENUNGAN DARI PONDOK DUREN :

Banyak warga Belinyu yang menulis di Content Pondok Duren tentang hal-hal yang positif untuk Belinyu dan Bangka, terutama masalah pemberdayaan ekonomi. Ada yang mengangkat topik pertambangan, pertanian dan lain sebagainya. Semua itu yang didiskusikan itu benar adanya dan kita sangat senang bahwa masih ada warga Belinyu dirantauan yang memikirkan kemajuan Belinyu.

Sebetulnya apapun usaha yang kita lakukan akan berhasil, kalau hal itu diiringi oleh sifat KETEKUNAN, KESABARAN dan ULET. Tidak usah terlalu jauh belajar dengan pakar motivasi sekelas Mario Teguh, yang mengemas idenya secara modern. Warga Belinyupun banyak yang telah mengajarkan kita tentang bagaimana berusaha menjadi seorang wirausaha sejati. Tinggal kita menggali saja dari sejarah.

Sebagai contoh, seperti "wak Honda" mungkin kita masih ingat ada seorang tukang gunting rambut keliling yang senantiasa "WTB, work to bike" dengan sepeda. Di perancah “kereto angin” yang sudah lebih tua dari usia beliau, selain ada kotak alat2 gunting, disediakan tempat duduk (dampar), untuk anak kecil. Pompa tangan, hingga jas hujan plastik tersedia di sepedanya. Semua yang ada adalah fungsional untuk profesi sebagai tukar cukur keliling.


Kalau tidak salah beliau ini tinggal di Padang nalang, namun sering kita temui di Air Asem, Batutunu, bayangkan jauhnya etape "tour de gunting" yang ditempuh . Dengan topi yang selebar “penampi”, sebagai ciri khasnya, beliau sangat tekun dan iklas menjalani profesinya. Walau dengan raut muka yang dingin, pelit bicara, namun semangat dan ketekunan tidak pernah luntur oleh panas dan hujan.


Dengan alat-alat seperti ini ditambah sebuah sepeda, anda berani mencari uang untuk menafkahi keluarga? Kalau anda pesimis, seorang warga Belinyu telah membuktikannya pada era 80-an. Dan itu digeluti selama puluhan tahun.



Bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun, profesi dijalankan dengan tekun, tanpa korupsi dan tanpa merugika orang lain. Pribadi demikian ini tentu tidak membebani APBD, tidak memusingkan perbank kan dengan kredit macet. Inilah semangat yang dibutuhkan warga Belinyu saat ini, walau mungkin dengan skala bisnis yang lebih besar dan lebih modern, serta macam yang lain.


Wak Honda ini, demikian beliau diidentifikasikan, di Belinyu ini tidak sendirian, ada juga penjual kue, penjual kempelang, tukang jahit sepatu, penjual daging, bahkan tukang pel rumah. Mereka dengan semangat, tekun, professional di bidangnya serta iklas menekuni profesi mereka sampai akhir hayat. Semangat-semangat seperti inilah yang merupakan sebagian kekuatan ekonomi Belinyu pada jaman dahulu.


Berjualan kue dengan cara "sales door to door" seperti ini, digeluti Yuk Yani selama puluhan tahun, dengan ketekunan dan ketabahan, Semua ilmu dan teori marketing menjadi kerdil dibandingkan dengan semangat beliau menggeluti profesinya.



Ketekunan dan kedisiplinan Karyawan Mantung jualah yang dulu membuat Mantung mampu mengaliri listrik. Etos kerja semacam ini pula, salah satunya yang membuat dulu PT.Timah lebih jaya dari sekarang. Bahkan orangtua kita sendiri mungkin bisa menjadi suri tauladan dalam hal kerja keras dan semangat dan kejujuran serta kepatuhan dalam bekerja serta menghidupi kita semua. Cukup dengan suara “suling bengkel” jarang kita lihat orang tua kita terlambat bekerja atau sengaja bolos bekerja. Padahal gaji tidak seberapa pada saat itu. Tinggal kita sebagai generasi penerus, maukah meneruskan sifat positif seperti itu? Sifat-sifat yang mempunyai korelasi dengan kemajuan Bangka dan Belinyu pada khususnya. Cerita ini masih panjang untuk didiskusikan, namun cukup untuk menjadi bahan renungan di Pondok sambil menunggu Duren jatuh di semak-semak. Namun ide-ide bernas dan berilian serta kereatif tetap kita perlukan untuk melengkapi "semangat wak Honda" di jaman sekarang ini.


Menurut saya lebih baik kita menjadi sepotong ‘belacan” yang baik dari pada menjadi sepotong daging yang busuk dan tidak bisa dimakan.