MALAM LIKUR-LIKUR

Likur-likur” berasal dari kata “selikur” (bhs.Jawa) yang berarti “dua puluh satu”, Malam likur-likur berarti malam puasa yang ke 21 dari 30 hari Puasa Ramadhan. Malam ke 21 adalah malam awal paruh ke-3 Bulan Ramadhan, atau 10 hari terakhir yang merupakan mulainya malam penuh pengampunan. Diyakini juga malam itu adalah malam “laylatulqadr” (Belinyu: lailatukodar) malam yang lebih indah dari seribu bulan, saatnya turun malaekat.

Malam khusus itu di Belinyu dirayakan dengan, arak-arak membawa alat penerangan. Bisa “tenglong” (tanglong) yang berupa lampion kertas berisi lilin, bisa juga kaleng susu yang dipasang tangkai sapu dan dimasukkan lilin merah di dalamnya, menjadi semacam senter. Itulah yang di arak anak-anak kecil sekampung panjang, sambil meneriakkan “likurrrr…likurrrr”.

Entah apa maknanya. Dan entah apa hubungan antara lampu dengan malam puasa ke 21. Mungkin saja jaman dulu malam itu digunakan untuk iqtikaf di mesjid hingga jauh malam. Dan karena belum ada senter, maka disiapkanlah berbagai alat penerang. Melegendalah hal itu menjadi malam likur-likur.

Budaya ini bukan cuma di Belinyu. Di Kalimatan Selatan, khususnya kota Banjar Baru, budaya likur-likur ini masih tetap ada hingga sekarang, bahkan menjadi agenda tahunan Dinas Pariwisata. Arak-arakannya tidak cumja tanglong, bahkan miniatur mesjid, kaligrafi, festival meriam bambu (dumdum) di tepi S.Kapuas dan kegiatan islami lainnya.

Sayang sekali budaya likur-likur ini redup begitu saja, sehingga sudah bukan menjadi tradisi di Belinyu. Entah siapa yang kita tuntut untuk mempertahankan budaya-budaya yang ada di kota Belinyu. Bila semua orang merasa malu dengan budaya sendiri, dan tidak melestarikannya, maka itu menjadi jalan untuk hilangnya suatu peradaban.


Gambar "Tanglong" atau tenglong yang biasa digunnakan pada malam "likur-likur". Berupa lampu atau lilin yang dibungkus kertas minyak warna warni dengan rangka bambu.
(foto dikutip dari "fotobucket.com/hasbi)