PASAR BELINYU-4: (CILOK Pembungkus)

PASAR BELINYU-4 (CILOK PEMBUNGKUS)

Cilok dalam bahasa Belinyu berarti “kantung”. Mungkin bahasa ini berasal dari Bahasa Cina. Sebelum jaman tas kresek, jual beli dibungkus menggunakan cilok kertas. Ada beberapa kategori cilok. Berdasarkan bentuk dan kapasitas bungkusnya, yaitu: cilok kecil segitiga, cilok sedang dan cilok besar.

Cilok segitiga biasa di gunakan untuk membungkus bumbu seperti Lombok, kadang juga untuk membungkus gula pasir, atau kopi yang dibeli dalam jumlah satuan yang paling kecil. Kita jangan heran pada tahun 70an, di Belinyu, masih ada transaksi pembelian gula atau Rp.50, paling cukup untuk membuat 1-2 gelas kopi hitam. Demikian bersahajanya konsumen di Belinyu.


Cilok kecil dari buku tulis "Letjes" bekas

Kemudian cilok sedang, seukuran 1 s/d 2 kg gula. Cilok ukuran ini di buat dari kertas Koran bekas. Biasa di gunakan untuk mewadahi gula, kacang tanah atau bulgur makan ayam. Diatasnya lagi ada cilok Besar ukuran 5 kg ke atas. Biasa untuk membungkus beras atau jagung untuk ayam.

Cilok sedang, diikat tali plastik

Berdasarkan bahan pembuat, cilok segitiga menggunakan buku tulis bekas. Jaman dulu di Belinyu cuma beredar buku tulis yang dikeluarkan Pabrik kertas PT.Letjes (sekarang Leces), di Probolinggo, Jawa Timur. Bukunya tipis, sekitar 20 lembar kertas tulis bergaris saja.

Sampul buku “Letjes” berlogo angsa ini berwarna biru keunguan. Jangan coba-coba kena hujan atau basah, sampulnya akan luntur mengenai baju seragam. Terutama siswa laki-laki yang sering melipat bukunya dan memasukkan di saku belakang celana. Siswa perempuan yang lebih rajin, kadang menyampul buku dengan kertas “kopi a-on”. Yaitu kertas kuning, yang biasa juga digunakan untuk membungkus “Kopi Cap Sedan”. Limbah buku tulis ini, lebarnya hanya cukup untuk cilok segitiga yang digunakan untuk membungkus 5-10 butir kemiri, bawang atau cabek.

Sedang cilok sedang menggunakan bahan baku kertas Koran bekas. Koran yang ada di Belinyu pada saat itu Koran “Kompas” yang selalu telat 1 hari. Biasa diantar Pak Tai (staff SD Agnes) jam 4-5 sore, menggunakan Tas Kain Drill TTB dan sepeda Simkingnya selama bertahun-tahun
.
Ada juga Koran gratis yang dibagikan TTB kepada para pejabatnya, seperti Harian “Suara Karya”, korannya Golkar, dimana Pemimpin Redaksi masih dijabat oleh Harmoko. Kemudian koran-koran yang diterbitkan Angkatan Bersenjata seperti “Berita Yudha”, “Angkatan Bersenjata”. Juga beberapa lainnya seperti “Merdeka”, “Sinar Harapan”, semua Koran gratis dari TTB. Inilah yang menjadi bahan baku cilok di pasar Belinyu pada jaman dulu, sebelum muncul dinasti jaman tas kresek atau kantong plastik.

Koran "Suara Karya" yang sampai saat ini masih terbit, dalam format lain. Koran ini dulu dapat dari TTB

Untuk Cilok yang paling besar, diperlukan kertas yang lebih kuat. Bahan baku cilok besar ini adalah kertas bekas Zak Semen. Sumbernya dari Gudang Ajat, jaitu pemasok semen di Belinyu. Zak-zak semen yang sobek lapisan luarnya, memiliki lembaran bagian dalam yang bisa dibikin cilok. Bisa juga bersumber dari zak semen bekas anemer-anemer TTB (Pemborong/rekanan TTB) yang mengerjakan proyek TTB.

Cara membuat cilok ini gampang, dipotong sesuai ukurannnya, kemudian di susun dan di lem pakai sagu Tani yang direbus dengan air panas. Agar Lem kanji lebih awet dan tidak dimakan tikus, ditambahkan cuka makan. Untuk mengoles, bisa digunakan potongan bambu, sumpit (cotet) bekas, bahkan tangkai sikat gigi bekas.

Sambil menunggu pembeli yang agak sepi di siang hari, sekitar jam 2-3, adalah waktu yang baik untuk membuat cilok, bagi Baba si pemilik toko. Bercelana pendek, menggunakan kaos singlet putih, dan rambut tetap tersisir rapi, ditengah–tengah panasnya cuaca Belinyu dan sambil menghilang kantuk, maka lembar demi lembar cilok dibuat, untuk kemasan jualan di kota Belinyu pada jaman baheula.

PASAR BELINYU-3 (DAUN SIMPUR/SUMPUN dan TALI PURUN) :

Terkait posting Pasar Belinyu, kita bernostalgia dengan alat pembungkus di pasar. Seingat penulis, “tas keresek” (kantong plastik) sebagai pembungkus, mulai ada di Belinyu sekitar paruh 80an. Sebelum itu kemasan pembungkus menggunakan kertas koran bekas atau dedaunan.


Adalah Daun Simpur yang biasa digunakan sebagai “cilok” untuk membungkus barang-barang basah di pasar, seperti ikan, sayur dan lain-lain. Cara menggunakan daun ini adalah dengan membuatnya seperti kerucut. Kalau perlu cilok lebih besar, ditambah 2-3 daun sehingga menjadi kerucut ukuran jumbo, untuk membungkus ikan kepetek atau ikan ciu, untuk dibawa pulang dengan “sangkek rotan” (keranjang segiempat dari anyaman rotan).


Tanaman Simpur (sumpun), yang daunnya cukup lebar digunakan untuk membungkus. Perdu ini banyak tumbuh di Pulau Bangka, khususnya di Belinyu. Tidak ada manfaat ekonomi lain dari tanaman ini selain diambil daunnya



Pengikat cilok Daun Simpur ini adalah “Tali Purun”, (tali plastik jaman itu belum banyak), yaitu tali yang terbuat dari tanaman Purun, yang berbentuk batangan berongga sebesar sedotan plastik. Tumbuh di rawa atau tepian kolong. Setelah dicabut, tanaman yang panjangnya kira-kira 1,5 meter ini dipukul-pukul (digepuk) sampai pecah-pecah dan lentur, kemudian dilipat dua dan diikat juga menggunakan tali purun. Ikatan Tali Purun ini digantung di meja pasar, dekat kotak uang, agar mudah ditarik satu tangan sementara tangan yang lain memegang bungkusan Daun Simpur.


Inilah tumbuhan Purun, sejenis rerumputan yang tumbuh di rawa-rawa atau kolong tua. Batangnya digunakan untuk tali pengikat. Bisa juga diannyam menjadi tikar atau tas. Banyak juga terdapat di Kalimantan. (foto ini di upload dari "endro-endro.blogspot.com")



Ikan besar yang tidak bisa lagi dibungkus, seperti tongkol, atau tenggiri, cukup diikat ekornya dengan tali purun untuk “di-cangking” pulang dengan “kereto angin” (sepeda) Dijamin tidak akan putus. Begitulah, pada jaman dulu, pedagang pasar Belinyu membungkus dan mengikat jualannya.

Ditoko-toko juga kadang Daun Simpur digunakan untuk

pembungkus asem, belacan dan kawan-kawannya. Selain itu juga, dipakai untuk cilok jualan buah kemunting, keranji, biasa juga dibuat “pincuk” untuk pembungkus tape ubi. Kalau digunakan untuk pincuk, tulang daun harus dibuang dulu, agar lembaran daun menjadi lentur, sebagai pembungkus tape ubi. Ujun

gnya disematkan biting dari lidi kelapa. Dan Tape Ubi bisa mulai dijual keliling kampung, dengan “penampi” dijunjung di kepala. Tapeeee…Ubiiiiiii.!...Tapee…Ubiiiiiiiii


Tape ubi dibungkus daun simpur (foto Christinetanod.multiply.com)



Menurut yang punya foto, bungkusan daun simpur ini adalah tahu yang dijual. (chritinetanod.multiply.com)



Hingga tahun-tahun 80an, bahkan nasi bungkus dari Pesanggrahan TTB, masih menggunakan Daun Simpur diikat Tali Purun. Nasi yang dibungkus daun simpur terasa lebih harum, ketimbang dibungkus kertas atau kotak karton seperti Nasi Padang. Apalagi dimakan pada saat lapar kerja lembur karyawan TTB.


Pendek kata, jaman itu Daun Simpur merajalela di kota Belinyu. Setiap pagi daun simpur ini dipasok dari Kusam, Gunung Muda, Thaikongpoi, parit-parit. Memang jaman itu, banyak orang yang berprofesi khusus mencari Daun Simpur, sebagai kemasan yang ramah lingkungan ini.



Pohon Simpur bisa juga menjadi pohon peneduh, karena daun-nya lebar dan rapat serta tidak mudah lepas. Pohon Simpur dalam foto ini bibitnya dibawa dari Belinyu dan ditanam di Cisarua Puncak, oleh pemilik Villa yang kebetulan wong Belinyu. Cukup subur juga tumbuhnya. Buah Nanas yang melekat di pohon cuma pajangan. Menurut yang punya, foto ini adalah waktu acara kumpul-kumpul "Blijong Club" di Puncak Bulan Juni 09 kemarin (Foto di copy dari FB. Ibu Elizabeth Wan Lie, dan telah seizin beliau, Sin mung ya Bu!)



Tanaman Simpur, banyak tumbuh liar di lelap (rawa-rawa) atau bekas tambang-tambang di Belinyu. Daunnya lebar mirip daun jati, yang tua agak getas seperti daun mangga. Dibawa ke pasar dalam bentuk gulungan. Satu gulungan berisi 10 lembar. Harganya pada saat itu 50 rupiah saja, kira-kira Rp.500 kurs uang sekarang. Tidak ada kebohongan dengan memasukkan daun yang jelek atau bolong-bolong ke dalam gulungan. Semua daun bagus dan mulus. Tiap tukang sayur atau penjual ikan sudah mempunyai langganan pemasok sendiri, dan sudah saling paham berapa gulung kebutuhan tiap penjual.


Sedang tanaman Purun sebagi tali pengikat, merupakan gulma di rawa-rawa, tepian kolong-kolong tua. Purun ini bisa juga dianyam menjadi tikar, atau “sangkek” (tas). Supaya awet dan lentur, Purun harus direndam dulu di kambang, kemudian dijemur sebelum dianyam. Dulu di Kolong Gunung Muda di ujung kmp.Sincong, di bawah “Len Listrik” banyak sekali terdapat tanaman Purun. Saat ini, walaupun kolong semakin banyak membuat bopeng wilayah Belinu karena TI, Namun tanaman Purun kian langka. Karena Purun baru tumbuh setelah kolong berusia puluhan tahun.


Generasi sekarang sudah jarang melihat Daun Simpur sebagai pembungkus. Buah kemunting sudah tidak dijual lagi. Tape Ubi tidak menggunakan Daun Simpur lagi. Semua sudah menggunakan “tas kresek” hitam, yang dibuat dari sampah plastik daur ulang plastik bekas. Sampah yang kian banyak menyumbat “bandar-bandar” (selokan) di Belinyu, didominasi “tas kresek” ini. Perlu kita tahu, bahwa sampah Tas Kresek ini, baru terdaur ulang oleh tanah dalam jangka 60 tahun. Kini jaman semakin maju, dunia semakin praktis, namun budaya hidup manusia semakin tidak ramah terhadap alam. Sebuah kantong plastik yang kita buang di kota Belinyu, 60 tahun lagi baru hilang. Lamo..yo!