Kampung Wasre :

Wasre, berasal dari bahasa Belanda “wasrijn” yaitu: was=cuci, rijn=masak. Jadi “wasrijn” artinya “mencuci/memasak”. Lidah Belanda mengucapnya “wasrei(j)”, wong Belinyu menyebutnya “wasre”.

Di Wasre inilah tempat mencuci dan menggoreng pasir timah dari seluruh Parit/TK di Wilasi Belinyu, Timah yang sudah dilimbang di “sakan/sakew”, dimasukkan ke dalam drum besi, lantas dibawa ke wasre pakai truck Chevrolet biru dengan pengawalan PKPT (Satpamnya TTB) sambil menenteng senapan LE, mirip senapan koboi mengawal kereta kuda membawa emas di film-film western.

Tiba di wasre, dilakukan pencatatan dan penyerahan “surat muat timah”. Drum timah diturunkan mobil derek (mobil pancing) beroda tiga dengan kemudi di roda belakang. Mobil pancing ini merk “Eister”, berwarna kuning ini biasa juga disebut “wong Belinyu” mobil “Eister”. Dalam tugasnya Eister ini dibantu juga sebuah Forklift yang disebut mobil garpu.

Dengan mengait kabel baja “slink” pada kuping, drum ditimbang dan dibawa ke bak-bak besar untuk dicuci dengan cara disemprot air bertekanan tinggi yang berasal dari Kolong Wasre. Setelah itu pasir timah dicuci menggunakan “zeef” (ayak/saringan), yang disebut orang Belinyu sebagai “jek”. Proses pengayakan ini juga menggunakan batu kerikil hitam yang disebut “batu jek”. Sangat bagus untuk umpan betet. Air limbah bekas mencuci dibuang ke belakang Wasre, ke “Kambang Kimpuk” terus melintas Jl.Balar, samping Gereja Ayam, hingga ke Jeramba Busen sana.

Pasir timah yang sudah bersih kemudian dimasak, atau lebih tepatnya digoreng. Kemudian dimasukkan ke dalam “Kampil Timah”, dijahit, dan dikirimkan ke Peltim, untuk dilebur menjadi Balok Timah.

Adapun Kampil Timah berupa karung kecil dengan tulisan “Bangka Tin”, terbuat dari terpal putih yang sangat kuat mutunya. Sering juga digunakan untuk kampil tempat parang ke kebun. Kadang juga digunakan untuk tas anak sekolah, setelah di buat rumbai-rumbai pada tepinya. Bahkan ada yang menggunakannya sebagai bahan “sepan panjang” alias celana panjang.

Saat ini bangunan Wasre sudah hilang tak berbekas, sepotong besipun tiada sisa. Sedangkan Komplek Wasre tetap menyisakan beberapa rumah yang masih asli. Sebagian juga sudah di “dum” kepada karyawan dan difermak menjadi rumah gaya masa kini.

Jalan menuju Wasre adalah lewat Bukit Ketok, namun bisa juga dari jalan bawah, lewat Kambang Kimpuk atau kebun Tuk Yasin yang tembus ke rumah Ce Juki dan Jalan Balar. Ada juga jalan tikus yang tembus ke Rumah Sakit TTB. Dari ke tiga akses inilah karyawan Wasre menempuh tempat Kerja, dengan 3 “aplus” (shift Kerja) . Kepala Wasre sendiri, tinggal di atas Bukit Wasre dekat Kamar Mati.

Berhubung komplek wasre ini cuma kira-kira 10 unit rumah, dan yang tingal di situ cukup lama, maka tidak banyak warga yang pernah tinggal disini. Ditambah tempatnya yang tersembunyi, wasre akan “sepi suik” di malam hari, yang tersisa cuma suara pianggung di hutan Tuk Yasin, dan kodok di sawah Tuk Agus di sisi yang lain. Inilah sekelumit tentang Kampung Wasre yang ada di kota Belinyu.


________


Senapan jenis LE adalah senjata organik PKPT alias Satpam Timah, yang dibawa petantang-petenteng mengawal biji Timah dari Parit/TK ke Wasre. Senapan ini memakai magazin 5 peluru. Setiap kali hendak menembak, gerendel kokang di bagian atas harus ditarik lebih dulu. Foto ini dijepret di Museum Kapasus-Cijantung.


Jalan menurun Bukit Wasre dari persimpangan Kamar Mati (Kamar Mayat Rumah Sakit TTB), menuju langsung ke Wasre sebagai tempat Pencucian biji Timah. Bangunan Wasre yang berada di sini dulu, sudah lenyap sama sekali, sepotong besi pun tak disisakan para pengumpul besi tua.



Inilah kondisi Kolong Wasre sekarang. Dulu kolong ini berbentuk danau, dari sini sumber air untuk mencuci pasir timah. Airnya bersih dari Pasir Mera/ Gunung Pelawan. Banyak ikan gabus, tanah-tanah dan ikan sepat. Mennurut cerita bahkan dulu ada buayanya. Sekarang kolong wasre sudah hilang seiring dengan zaman. Tidak cukup buat alam untuk menunjukkan existensinya bagi generasi sekarang. Akibat ulah manusia sendiri.



Dari Bukit Wasre belok kanan terdapat 4 rumah dinas, kearah kelekak Tuk Yasin



Rumah tua, tempat penulis dilahirkan th.66 dan dibesarkan hingga thh.71. Seluruh lingkungan Wasre adalah bagian dari kenangan. Rumah ini terletak paling ujung, dekat kelekak Tuk Yasin, menghadap ke bawah.



Sebagian Rumah Dinas di Wasre telah dibeli karyawan Timah. Rumah pemilikan pribadi tersebut sudah direnovasi, menjadi rumah model masa kini, dengan ukuran kapling yang cukup luas.


Rumah tua yang membelakangi kolong Wasre ini, dulu terdapat Lapangan Bulu Tangkis di samping, juga dua pohon Nangka Bubur besar.



Kalau kita belok kanan turun dari Bukit Wasre kita akan tiba di sini. Kearah bawah terdapat lembah dan dulu ada sawah dengan tanaman padi. Dari dulu aspal di sini mengelupas seperti itu.



Rumah ini bersebelahan dengan Kantor Wasre . Dulu terdapat Pohon Mangga besar. Rumah ini cukup lama didiami keluarga Oom De Lima.


Sebuah rumah di Komplek Wasre.



Rumah yang berada di ujung Wasre arah ke Sawah Wak Agus, menghadap rumah Bik Yang, sayang pohon kedondong dan jambu bol disamping sudah tidak ada lagi. Inilah generik rumah dinas TTB di Wasre, yang sudah berusia sekitar 70 tahun lebih.



Bik Yang dan Oom Bang Cit, adalah satu-satunya pasangan tertua yang masih setia tinggal di Wasre. Penulis sempat mengunjungi beliau tahun.2008 kemarin. Hampir seluruh masyarakat Wasre, pasti mengenal beliau dengan akrab. Di rumah atau dipekarangannya anak-anak Wasre sering bermain, memanjat jambu air, rambutan atau salak. Kita doakan semoga beliau berdua senantiasa diberikan kesehatan.