NOSTALGIA PUASA DI BELINYU
Kalau ingat Bulan Puasa di Belinyu akan membawa sejuta kenangan. Bulan puasa merupakan hari-hari istimewa, lain dari hari biasa, terutama ritme kehidupan dan apalagi kalau bukan masalah kuliner.
Tidak seperti sekarang, di Belinyu, jaman dulu tidak terlalu banyak tersedia bahan makanan istimewa. Untuk berbuka puasa, di pasar cuma tersedia, dawet, beluluk (kolang-kaling) dan cincau hitam, serta bahan-bahan kolak. Itu saja variasi bahan untuk berbuka pembuka puasa.
Untuk sembako, korma dan sirop (limus) sebagian masyarakatnya bekerja di PT. Timah (TTB), mendapat jatah dari perusahaan yang dibagikan menjelang lebaran. Kormanya, korma kiloan, dengan mutu yang cukup baik. Sirop mendapat jatah beberapa botol, yang biasa juga dibagikan ke saudara-saudara (kemanak) yang tidak bekerja di TTB. Juga ada gula, minyak, kacang hijau. Karyawan juga mendapat uang THR (duit ari ayo)
Pagi hari, ibu-ibu sudah belanja ke pasar, selain membeli ikan, sayur mayur, juga membeli bahan minuman seperti “cincau hitam”, “beluluk” atau “dawet”. Kadang juga belanja ini dilakukan sore hari setelah pulang bekerja jam 2 siang, sekalian untuk persiapan lauk makan sahur. Ikan dibungkus “daun simpur” diikat “tali purun”. Sayur cukup diikat begitu saja. Saat itu belum ada tali plastik atau “tas kresek”, jadi harus membawa “sankek rotan” (keranjang rotan).
Jam 6 sore, suling bengkel berbunyi tanda berbuka puasa. Sesudah berbuka dengan “es limus” minum cincau hitam yang di potong halus campur air gula, biasa juga menyantap kue-kue khas Belinyu seperti roti beras, roti ambon, ketan sambel yang dijual dengan cara dijunjung pakai “penampi” (nyiru). Lebih istimewa kalau makan kelesan (empek-empek) atau cacak ikan, dengan saos cuka biasa atau cuko “tauco”.
Kalau tidak ada ikan (musim bulan terang) atau dana tipis? Cukup membuat “kiping gandum” (semacam lempengan gandum, yang digoreng). Atau “jemput-jemput pisang”, ataupun “begodo bawang” (gandum dan bawang merah yang digoreng dan dicocol dengan cuka kelesan).
Setelah berbuka puasa, dilanjutkan shalat Magrib, yang kekenyangan Magribnya ..lewat!. Habis shalat magrib, baru menyantap makanan berat, atau nasi. Lauknya? Macam-macam tergantung situasi dan kondisi. Bisa rajung (kepiting) atau sotong (cumi), “ikan panggang” (ikan bakar) pakai cecel (sambal cocolan) rajangan nanas, atau binjai atau bacang, tergantung musimnya. Bisa juga sambal tomat atau kecap dicampur rajangan cabe, dan perasan jeruk kunci. Kadang juga Ikan dimasak “mangut”, atau “lempah kuning”, “lempah nanas”, “tumis asem”. Kadang juga ada masakan olahan seperti “sate godok”, “begodo udang serum” atau “ikan bilis goreng tepung”.
Jangan lupa sayur, ada bermacam-macam sayur. Ada “lempah darat” timun, kacang panjang , sawi yang dimasak dengan air “belacan” (terasi), Lombok dan garam, yang disebut bumbu tigo (tiga). Bisa juga “keladi” yang dilempah darat, yang disebut lempah keladi. Namun tidak semua jenis keladi yang bisa di jadikan sayur, karena ada keladi yang gatal. Kalau nangka muda, kacang panjang daun belinjo bisa dimasak sayur gemuk atau “lempah nangko” (nangka masak santan).
Yang doyan lalapan, cukup ambil di sekitar pekarangan, di kebun atau minta tetangga, daun ubi, daun pepaya, jantung pisang, nangka muda rebus. Sambalnya, bisa “sambal belacan”, “rusip” atau “caluk”. Mau yang lebih exotic, bisa pakai sambel “pekasem” (fermentasi teritip). Jangan lupa semua pakai perasan jeruk kunci yang kecutnya… ruarrr biasa.
Habis makan kembali menyantap es limus, yang es nya di beli di pabrik Es Bongkisui (dekat bioskop Belia), maklum lah pada saat itu kulkas belum banyak, dan tidak semua orang mampu membelinya. Satu balok ukuran 10x20 dan panjang 50 cm, cukup tukar uang 50 rupiah. Mau ngirit, bisa membeli ½ seharga 25 rupiah. Sebelum berangkat membeli sampaikan dulu tetangga kiri kanan barangkali ada yang nitip untuk dibelikan (biasanya pasti ada yang nitip). Ini perlu, karena suatu saat mungkin kita yang nitip.
Jangan berharap es balok itu dibuat dari air masak. Dari air mentah yang dimasukkan ke kotak kaleng, yang kemudian direndam dalam air es campur garam. Walau es balok ini berbahan air mentah, pembeli tidak protes, yang penting es batu. Penjualpun tidak menutupi-nutupi, dan tidak bermaksud membohongi konsumen, silahkan masuk kedalam lihat. Kalau mau boleh beli kalau tidak juga tidak apa-apa, karena es ini juga bisa dijual kepada tukang ikan untuk mengawetkan ikan dari Pesaren atau Bubus.
Awas jangan membeli es batu terlalu sore, karena bisa kehabisan. Kalau ada es batu tersebut akan diikat dengan tali “purun”, minta dobel, karena bisa longgar atau putus kalau digantung di stang sepeda (motor belum banyak, dan belum ada beli cara kredit). Sampai di rumah es batu di “gepuk” (dipukul) di masukkan sirop, diminum satu keluarga.
Selanjutnya shalat Taraweh. Boleh pilih, mau yang 8 rakaat atau 21 rakaat, semuanya boleh, walau masing-masing faham merasa benar sendiri. Sebelum Teraweh ada shalat Isya. Habis itu ada sedikit ceramah, yang isinya itu-itu saja, yaitu puasa itu sebagai solidaritas sosial, merasakan laparnya orang miskin. Konsep ceramah diambil dari buku-buku ceramah terbitan Yudistira atau Tiga Serangkai Solo.
Awal puasa Mesjid penuh sesak, pertengahan puasa semakin maju, maksudnya shaf semakin maju, alias makmumnya berkurang. Yang muda mulai menghilang tinggal para “balita” alias bapak-bapak lima puluh tahunan. Mendekati akhir puasa jemaah sedikit bertambah, tetapi tidak sebanyak di awal ramadhan.
Tanggal 17 Ramadhan, Nuzulull Qur’an ada sedikit kegiatan di mesjid-mesjid besar seperti Mesjid kampung tengah atau Al-Inayah, mesjid TTB. Tgl. 21 Ramadhan disebut malam “likur-likur” diambil dari bahasa Jawa “selikur” yang artinya 21.
Anak-anak mulai membuat “tenglong” (lampu di bungkus kertas minyak), atau kaleng susu yang dipasang lilin, dan dipasangi kayu sebagai pegangan seperti senter. Bisa juga membuat obor minyak tanah dari bambu. Pada saat itu minyak tanah tidak sulit dibeli di toko Ajiu, Toko Anam, atau Toko Apung. Untuk bukit ketok, di Toko Akap.
Meriam bambu, atau pipa besi sesekali terdengar, mainan ini disebut “dum-dum”. Pecahan karbit, dicampur air, dimasukkan ke pipa besi seukuran tiang listrik, panjang 1 m. Setelah ditutup kaleng disulut api, meledak mengeluarkan suara yang cukup menggelegar, yang kaget akan misu-misu “celako lah budak nih. Muat wong tekejut bai ikak nih”. Karbit minta di bengkel TTB atau bengkel Alip.
Habis teraweh, masih lapar? Bisa mencari pantiau, lakso, mie kocok, atau model (semacam empek2 berkuah) di sekitar Kampung Tengah atau Sungai Ketok. Habis itu selesai semua, tidak ada acara lain, mall tidak ada, televisi belum banyak, lampu sudah mulai redup. Jam Sembilan sudah banyak yang tidur, malem “sepi suik”. Belinyu-pun lelap.
Pukul 3 dini hari ibu-ibu sudah bangun memanaskan makanan untuk makan saur. Jam setengah empat makan sahur. Shalat Subuh, bagi yang shalat. Bila hari Minggu, habis Subuh, jalan pagi, sebagian naik sepeda. Anehnya semua jalan ke arah Panji, bahkan sampai ke Batu Tunu. Para remaja, dengan riang gembira jalan santai karena bisa sambil “ngepek” (mencari pacar). Yang istimewa, masyarakat non muslimpun ikut jalan. Selesai itu matahari sudah diufuk fajar, matahari mulai mengintip, masing-masing pulang untuk melanjutkan tidur.
Itulah nostalgia bulan puasa di Belinyu, tidak semua kita pernah melakukan nostalgia ini, tetapi kondisi dan sedikit kegiatan tersebut mungkin pernah kita lakukan atau kita saksikan kalau kita memang pernah tinggal di Belinyu. Selamat menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih.
(Artikel ini pernah ditulis di web: belinyu.net)
Ikan kembung goreng, ayam masak kecap, ikan panggang bumbu, sotong goreng (foto dicopy dari belinyu.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar