Jeramba (jembatan) Busen, adalah nama sebuah jembatan kecil di dekat pertigaan Jl.Pahlawan-12 dengan Sungai Ketok. Di dekat situ juga terdapat sekolah SD Negeri, yang disebut juga SD Jeramba Busen. Sekolah ini merupakan Sekolah Rakyat , HIS (Holland Inlanders School) yang tertua di Belinyu, sejak Jaman Belanda, selain Sekolah Belanda (Sekolah Pastur, atau St Agnes) di Panji dan HCS (Sekolah Cina) di depannya.
SD Negeri. No.2 Jl.Pahlawan 12, yang biasanya disebut SD Jeramba Busen, merupakan SD tertua di kota Belinyu
Jeramba Busen ini dulunya, berupa Jembatan Beton dengan 3 Gorong-gorong berdia meter 1 m. Karena sering dipenuhi sampah, akhirnya roboh, dan diganti jembatan kayu. Belakangan dirubah lagi ke jembatan beton. Jaman belanda dulu Sungai di sekitar Jeramba Busen ini bersih dari sampah. Karena tahanan2 alias Bang Napi dari Lapas (yang disebut Gudang Garam, yang sekarang Kantor Satpam Timah), diberikan sangsi sosial untuk membersihkan sampah2 di kota Belinyu. Setelah breakfast di Gudang Garam, dengan memakai baju seragam tahanan, mereka dikawal polisi untuk kerja sosial. Ini berlaku bagi Bang Napi yang hampir lulus, atau yg hukumannya ringan.
Jeramba berada di atas sungai yang cukup lebar, yang merupakan anak dari Sungai Pasir. Adapun Sungai ini adalah cabang dari Sungai Pasir, menuju Sungai Keladi (Jagal), trus ke Jeramba Busen, melewati Jalan Melati, Jembatan Bengbeng, Gudang Ajat, melewati Jl.Sudirman, di samping Gereja Protestan Imanuel, lanjut ke Jalan Balar, Kolong Wasre, trus ke atas yang berhulu di pasir Mera.
Jeramba Busen saat ini (29 Sept 2008), dilihat ke arah Jl.Pahlawan-12
Sungai Yang dulunya bisa dimasuki sampan nelayan, kini tinggal seperti selokan saja, dan menjadi tempat membuang sampah.
Banyak perahu nelayan yang ditambat di sekitar Jeramba Busen, juga perahu pencari kayu bakau (bakoo). Karena kondisi sungai jang cukup dalam untuk dilewati kapal kecil atau perahu (kolek) nelayan.
Salah seorang yang mencari kayu bakau itu bernama “Bu Sen”, nama ini memang terdiri dari 2 suku kata, karena pada jaman dulu, warga Cina asli yang datang ke Bangka, khususnya Belinyu adalah muasal dari suku “Ke Jia” (sering disebut orang Khe) dari Propinsi Guang Dong, Tiongkok, biasa menggunakan nama dengan 2 suku kata, tanpa nama Siang (Keluarga).
Ada juga yang mengatakan bahwa Busen ini berasal dari namanya yaitu: A Sen. Karena kulitnya hitam, sehingga di sebut Bu Sen (Bu Sen artinya Sen hitam, bu=hitam dalam bahasa Cina Belinyu). Bu Sen ini juga biasa dipanggil "Pak Lo Pho" (Kakek yang tua)
Menurut para tetua di Belinyu, Bu Sen ini ber kiprah di sekitar jeramba Busen itu hingga tahun 45 an. Masih sempat beberapa tetua Belinyu melihat si Bu Sen ini. Badannya tidak kekar seperti Ade Rai, malah agak kurus dan tidak terlalu tinggi. Rambutnya panjang dan sering di sanggul kecil di atas kepala. Soal kulit, memang hitam, karena tersengat matahari dan panasnya laut Sungai Pasir.
Pak Bu Sen ini, dikenal berprofesi sebagai pencari Kayu Bakau, di sekitar bibir Sungai Pasir. Setelah pohon bakau tersebut ditebang, dibersihkan dahan dan akar nya, dan dimuat diperahunya. Perahu di dayung (kayuh) menuju Jeramba Busen. Tiba di Jeramba busen, kayu bakau sepanjang 2-3 m, sebesar betis orang dewasa itu dibongkar lalu dipukul-pukul dengan kayu juga untuk melepaskan kulitnya, kemudian dipotong-potong sepanjang 1 m. Jika kayunya cukup besar dibelah 4 atau dibelah 2 dengan menggunakan kampak.
Kayu bakau ini kemudian disusun, atau diikat per 3 batang, dan tiap 5 ikatan diikat lagi menjadi satu. Jumlah ikatan ini untuk mempertimbangkan kemampuan si Bu Sen untuk memanggulnya dan menjualnya kepada konsumen.
Profesi pencari kayu bakau seperti Bu Sen ini, selanjutnya masih diwarisi oleh beberapa orang, namun sebatas mencari kayu untuk konsumsi sendiri. Tahun-tahun 80an masih ada beberapa orang Belinyu yang berprofesi sebagai pencari kayu bakau, namun saat ini bukan hanya hanya orangnya, pohon bakau pun di sungai pasir itu sudah tidak ada lagi.
Saat ini kayu bakau yang ada di sungai Pasir, cuma tinggal sebesar ibu jari orang dewasa,namun itupun, habis disikat orang untuk digunakan sebagai kayu bakar.
Ada 3 Jenis Tanaman Bakau di Indonesia: 1. Rhizophora apiculata (Bakau Minyak)
2. Rhizophora mucronata (Bakau kurap/bakau hitam/bakau betul),
jenis ini yang dulunya banyak terdapat di Sungai Pasir
3. Rhizophora stylosa (Bakau Kecil)
foto ini dari: www.sinjaikab.go.id
Kayu dari tumbuhan bakau ini memang sangat disukai masyarakat untuk memasak, karena kayu tersebut tumbuh di rawa berair asin, yang mempunyai kadar garam. Selain itu kekerasan kayu jenis ini cukup keras, sehingga sangat baik untuk kayu bakar karena mempunyai nilai kalori atau panas yang tinggi. Bahkan dapat cepat membuat tipis panci atau ketel dari bahan alumunium.
Dulunya di kiri kanan Sungai pasir di Belinyu, masih terdapat hutan bakau, yang cukup rapat dan subur. Selain kayunya dapat dimanfaatkan untuk kayu bakar, hutan bakau inipun menjadi habitat ular, burung dan kera
Pekerjaan menguliti dan memotong, serta menumpuk kayu bakau yang dilakukan Bu Sen bertahun-tahun dengan tekun di sekitar jembatan ini, seakan akan telah meng-kapling daerah sekitar situ menjadi wilayah personalnya. Yang pada akhirnya membuat masyarakat Belinyu menyebut jembatan/jeramba ini sebagai Jeramba Busen.
Seperti inilah cara Bu Sen mengolah kayu bakau, dipotong, dikuliti dan dijual
Dapat diperkirakan Bu Sen ini melaksanakan kegiatan “illegal logging” di Sungai Pasir dan membuat pangkalan kayu bakar di Jembatan itu sekitar paruh waktu tahun 1900-an. Demikian sejarah dan asal nama dari Jeramba Busen ini kami dapatkan lewat cerita dari mulut ke mulut tetua Belinyu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar