Cilok dalam bahasa Belinyu berarti “kantung”. Mungkin bahasa ini berasal dari Bahasa Cina. Sebelum jaman tas kresek, jual beli dibungkus menggunakan cilok kertas. Ada beberapa kategori cilok. Berdasarkan bentuk dan kapasitas bungkusnya, yaitu: cilok kecil segitiga, cilok sedang dan cilok besar.
Cilok segitiga biasa di gunakan untuk membungkus bumbu seperti Lombok, kadang juga untuk membungkus gula pasir, atau kopi yang dibeli dalam jumlah satuan yang paling kecil. Kita jangan heran pada tahun 70an, di Belinyu, masih ada transaksi pembelian gula atau Rp.50, paling cukup untuk membuat 1-2 gelas kopi hitam. Demikian bersahajanya konsumen di Belinyu.
Kemudian cilok sedang, seukuran 1 s/d 2 kg gula. Cilok ukuran ini di buat dari kertas Koran bekas. Biasa di gunakan untuk mewadahi gula, kacang tanah atau bulgur makan ayam. Diatasnya lagi ada cilok Besar ukuran 5 kg ke atas. Biasa untuk membungkus beras atau jagung untuk ayam.
Berdasarkan bahan pembuat, cilok segitiga menggunakan buku tulis bekas. Jaman dulu di Belinyu cuma beredar buku tulis yang dikeluarkan Pabrik kertas PT.Letjes (sekarang Leces), di Probolinggo, Jawa Timur. Bukunya tipis, sekitar 20 lembar kertas tulis bergaris saja.
Sampul buku “Letjes” berlogo angsa ini berwarna biru keunguan. Jangan coba-coba kena hujan atau basah, sampulnya akan luntur mengenai baju seragam. Terutama siswa laki-laki yang sering melipat bukunya dan memasukkan di saku belakang celana. Siswa perempuan yang lebih rajin, kadang menyampul buku dengan kertas “kopi a-on”. Yaitu kertas kuning, yang biasa juga digunakan untuk membungkus “Kopi Cap Sedan”. Limbah buku tulis ini, lebarnya hanya cukup untuk cilok segitiga yang digunakan untuk membungkus 5-10 butir kemiri, bawang atau cabek.
Sedang cilok sedang menggunakan bahan baku kertas Koran bekas. Koran yang ada di Belinyu pada saat itu Koran “Kompas” yang selalu telat 1 hari. Biasa diantar Pak Tai (staff SD Agnes) jam 4-5 sore, menggunakan Tas Kain Drill TTB dan sepeda Simkingnya selama bertahun-tahun.
Ada juga Koran gratis yang dibagikan TTB kepada para pejabatnya, seperti Harian “Suara Karya”, korannya Golkar, dimana Pemimpin Redaksi masih dijabat oleh Harmoko. Kemudian koran-koran yang diterbitkan Angkatan Bersenjata seperti “Berita Yudha”, “Angkatan Bersenjata”. Juga beberapa lainnya seperti “Merdeka”, “Sinar Harapan”, semua Koran gratis dari TTB. Inilah yang menjadi bahan baku cilok di pasar Belinyu pada jaman dulu, sebelum muncul dinasti jaman tas kresek atau kantong plastik.
Untuk Cilok yang paling besar, diperlukan kertas yang lebih kuat. Bahan baku cilok besar ini adalah kertas bekas Zak Semen. Sumbernya dari Gudang Ajat, jaitu pemasok semen di Belinyu. Zak-zak semen yang sobek lapisan luarnya, memiliki lembaran bagian dalam yang bisa dibikin cilok. Bisa juga bersumber dari zak semen bekas anemer-anemer TTB (Pemborong/rekanan TTB) yang mengerjakan proyek TTB.
Cara membuat cilok ini gampang, dipotong sesuai ukurannnya, kemudian di susun dan di lem pakai sagu Tani yang direbus dengan air panas. Agar Lem kanji lebih awet dan tidak dimakan tikus, ditambahkan cuka makan. Untuk mengoles, bisa digunakan potongan bambu, sumpit (cotet) bekas, bahkan tangkai sikat gigi bekas.
Sambil menunggu pembeli yang agak sepi di siang hari, sekitar jam 2-3, adalah waktu yang baik untuk membuat cilok, bagi Baba si pemilik toko. Bercelana pendek, menggunakan kaos singlet putih, dan rambut tetap tersisir rapi, ditengah–tengah panasnya cuaca Belinyu dan sambil menghilang kantuk, maka lembar demi lembar cilok dibuat, untuk kemasan jualan di kota Belinyu pada jaman baheula.